Sewaktu masih kanak-kanak, setiap
selesai shalat shubuh berjamaah di masjid, aku dan saudara-saudaraku sering
melakukan jalan-jalan pagi. Hanya di waktu pagilah udara di kota Jakarta masih
bisa dikatakan bersih, karena belum banyak kendaraan yang lalu lalang, dan
matahari bahkan belum memperlihatkan cahayanya serta debu-debupun belum banyak
beterbangan. Di sebuah kantor polisi kecamatan kecil yang berada di tikungan
perempatan patung Pancoran, aku selalu memperlambat langkahku karena daerah itu
adalah daerah yang aku sukai. Kenapa? Karena di situ, di sepanjang pagar kantor
polisi itu ditanam berjajar pohon kemuning. Setiap pagi, wangi bunga kemuning
dari jajaran rumpun pepohonan itu menyapa ramah hidung dan menambah perasaan
damai. Lupa dengan jajaran gedung bertingkat yang ada di sekitarnya, atau
jajaran warung kaki lima yang masih tampak tertutup dengan sangat tidak rapih,
aku selalu membayangkan sedang berjalan di taman bunga. Hmm? Subhanallah, wangi
sekali. Menerbitkan sebuah cita-cita kanak-kanak, bahwa kelak jika sudah
menikah dan punya rumah sendiri, aku akan menanam rumpun pohon kemuning di
sepanjang pagar rumahku.
Sekarang, ketika aku sudah memiliki
keluarga sendiri, juga rumah sendiri. Setiap pagi sebelum berangkat ke masjid
untuk shalat shubuh, aku selalu memuaskan hidungku untuk menghirup wangi
kemuning yang rumpun pohonnya aku tanam di halaman rumahku yang mungil. Yup,
alhamdulillah mimpi kanak-kanakku telah terwujud. Ada serumpun pohon kemuning
di halaman depan rumahku. Setelah puas menghirup wangi bunganya yang seperti
wangi sedap malam hanya lebih halus sedikit, berdua dengan suamiku kami
bergegas menuju masjid saban shubuh.
***
Masjid di dekat rumahku itu jaraknya
lumayan jauh sebenarnya. Tapi jarak jauh itu tidak terasa jauh karena aku dan
suamiku sangat menikmatinya berdua sebagai waktu khusus untuk berkomunikasi
lebih akrab di banding waktu yang lain, lepas dari masalah kerutinan pekerjaan
kantor atau rumah tangga, lepas dari masalah hubungan dengan rekan kerja atau
tetangga atau keluarga bahkan anak-anak sekalipun. Tidak harus dengan untaian
kata-kata, karena komunikasi tidak selamanya berbentuk untaian kalimat. Itu
sebabnya perjalanan jauh menuju masjid favorit itu sangat kami nikmati.
Masjidnya sendiri, adalah masjid sederhana yang tidak terlalu besar. Biasanya,
anggota jamaah yang melakukan shalat shubuh di masjid tersebut selalu bisa
dihitung dengan jari, karena yang datang memang orangnya itu-itu saja setiap
pagi, termasuk di dalamnya empat orang kakek yang bersahabat akrab.
Sejak dua tahun yang lalu, ketika aku
pertama kali datang untuk shalat di masjid itu setelah aku tiba di Indonesia
dan kembali menetap di negeri ini, aku selalu kagum pada persahabatan keempat
kakek-kakek tersebut. Mereka bertemu dalam suasana mesra dan bersenda gurau
dengan akrab. Kadang, secara bergantian mereka saling memperhatikan bacaan
tilawah temannya, atau diskusi dengan suara pelan sambil membuka buku agama
yang terlihat sudah usang dan mulai berwarna tanah. Tapi kadang mereka hanya
duduk berkumpul dalam diam mendengarkan suara qori yang mengalun dari radio dan
dipancarkan lewat pengeras suara masjid sambil menunggu adzan shubuh bergema.
Kebersamaan dan pertemuan itu rasanya sudah memiliki arti yang sangat spesial
bagi mereka, bahkan jika pertemuan yang terjadi itu tidak menghasilkan
percakapan yang bermutu sekalipun karena semuanya larut dalam diam, tetap saja
pertemuan keempat sahabat itu berarti bagi mereka. Karena dengan adanya
kesempatan bertemu masing-masing tahu bahwa semuanya masih dikaruniai nikmat
sehat dan hidup sampai hari pertemuan itu.
Dua tahun berlalu sudah hari ini. Kini,
keempat sahabat itu hanya tersisa dua orang. Dua orang rekan mereka telah
mendahului rekan lainnya pergi menghadap sang Khalik. Innalillahi wa inna
ilaihi rajiun. Kakek itu tinggal berdua kini. Berdua mereka saling membantu
karena usia tua telah mencabut beberapa kenikmatan yang dimiliki oleh mereka
yang berusia muda. Jalan yang tidak lagi gagah, punggung yang membungkuk, lutut
yang gemetar menahan berat tubuh, telinga yang tidak lagi bisa mendengar dengan
jelas serta mata yang mulai tidak awas. Meski semua kenikmatan usia muda sudah
semakin berkurang mereka miliki, keduanya tampak tetap saling membantu satu
sama lain (atau bahkan kian akrab dan mesra?). Aku sering terharu melihat
keakraban dan kemesraan kedua orang kakek yang kini tinggal bersahabat berdua.
***
Pagi ini, setelah hampir sebulan
lamanya aku tidak pernah datang ke masjid itu karena masalah kesehatan yang
terganggu, aku datang lagi dan mendapati kakek tua itu tampak seorang diri.
Sendiri termenung mendengarkan kaset murattal yang diperdengarkan melalui
pengeras masjid. Dari seorang nenek yang ada di sampingku, aku mendapat kabar
bahwa sahabat terakhirnya telah meninggal dua minggu yang lalu. Aku sedih
membayangkan perasaan kehilangan kakek itu. Tentu sangat menyedihkan kehilangan
sahabat yang kita sayangi. Setelah merasakan kedekatan bertahun lamanya
bersama, berbagi suka dan duka bersama, melihat kepergian orang yang kita
cintai adalah sesuatu yang sangat berat terasa di dada dan sangat menyedihkan
perasaan. Tanpa sadar aku menatap kakek yang duduk menyendiri di sudut masjid
seorang diri itu hingga sebuah sentuhan halus dan hangat terasa menyentuh
pergelangan tanganku.
?Senang sekali bertemu denganmu lagi.?
Seorang nenek tampak dengan cepat mengucapkan kalimat pendek padaku sebelum dia
konsentrasi melakukan wiridnya. Barulah setelah dengan wiridnya, ketika hikmah
kehidupan singkat dibicarakan oleh ustad masjid, si nenek menghampiri aku
sekali lagi. Aku sedang bersiap-siap untuk segera pulang. Kali inipun, dia
memegang pergelangan tanganku erat sekali setelah aku menyalaminya untuk pamit
pulang.
?Nak? Kemana saja selama sebulan ini
tidak terlihat?? Suara tuanya tampak terdengar bergetar di telingaku, tapi
sangat sarat dengan perasaan hangat dan akrab.
?Sakit bu, jadi saya shalat di rumah.?
Aku menjawabnya sambil tersenyum dan mulai bersiap untuk berdiri tapi si nenek
tampak enggan melepas pergelangan tanganku.
?Sehat selalu yah Nak, demi Allah, ibu
menyayangi kamu karena Allah dan selalu senang jika kita bisa bertemu lagi.?
Dug. Hatiku langsung tercekat mendengar untaian kalimatnya. Perasaan haru
terasa mulai menyirami rongga dadaku. Tidak sekalipun aku ingat pada nenek tua
ini, bahkan mungkin selama ini aku tidak pernah memperhatikan kehadirannya di
dekatku, tapi ternyata dia menyayangiku dengan sangat tulus. Padahal kami tidak
pernah kenal sebelumnya bahkan kami memang tidak pernah bercakap-cakap
sebelumnya selain ucapan saling memberi salam dan melempar senyum saja. Hmm,
diam-diam aku mulai merasakan hangatnya suasana persahabatan diantara kami.
Cepat kuhapus air mata haru yang ingin meloncat keluar (malu ah, ketahuan
cengengnya). Kujabat erat tangan nenek tua itu sebelum aku benar-benar beranjak
berdiri untuk pulang. Kali ini, rasanya aku yang enggan kehilangan genggaman
hangat tangannya di pergelangan tanganku.
?Terima kasih yah bu atas perhatiannya.
Semoga Allah membalas ketulusan ibu. Semoga Allah melimpahi ibu dengan
rahmatNya selalu. Saya pamit yah.? Si nenek mengangguk dengan pandangan sayang
padaku. Aku tersenyum padanya dan dia masih tetap memandangku.
?Assalamu?alaikum...? Akhirnya sebelum
benar-benar berlalu, kudaratkan sebuah kecupan sayang di pipi tuanya dan segera
berlalu karena melihat bola matanya yang mulai berkaca-kaca. Suamiku sudah
menunggu di halaman masjid dan aku tidak ingin membiarkannya berteman seorang
diri dengan angin shubuh yang dingin Sebelum benar-benar meninggalkan masjid,
kulirik kakek tua yang sebelum shalat shubuh tadi tampak menyendiri di sudut
masjid. Dia kini ditemani oleh teman baru yang sama tuanya dan seorang pemuda
yang tampak sangat menghormati mereka dengan semangat untuk belajar ilmu agama
yang kental yang memancar dari wajahnya yang bening. Aku tersenyum.
Sungguh. Nikmat persahabatan mereka
kini bisa ikut kurasakan. Subhanallah begitu nikmat kehangatan dan
kemesraannya. Kueratkan rengkuhan tanganku di lengan suamiku. Dia sahabat
sekaligus kekasih hatiku. Semoga kami selalu dinaungi nikmat persahabatan
islamiyah selamanya. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar