A.
Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya
beragama Islam. Namun, perkembangan produk-produk yang mengacu pada prinsip
syariah di Indonesia, baru berkembang sekitar tiga sampai empat tahun terakhir
ini. Dunia bisnis yang kita kenal pertama kali menerapkan prinsip syariah
adalah dunia perbankan. Kemudian merembet ke bidang bisnis lainnya, termasuk bisnis Asuransi. Seperti yang
dilakukan oleh Asuransi tertua dan terbesar di Indonesia, AJB Bumiputera 1912.
Kita tentu sama-sama meyakini bahwa Islam adalah
satu-satunya agama yang benar dan komprehensif. Dia mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia. Tidak ada satupun, dan sekecil apapun urusan kehidupan
manusia dimuka bumi ini yang luput dari Islam. Begitu sempurna, sungguh tidak
ada sedikitpun cacat dalam ajaran ini. Ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya :
”..pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu…”
(QS. Al-Maaidah :3)
Islam tidak hanya mengajarkan ummatnya tentang bagaimana
beribadah kepada Allah saja, Islam juga mengajarkan kita agar membuat
perencanaan untuk dapat menghadapi masa depan yang tidak bisa diprediksi,
sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai
orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan
bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
engkau kerjakan”. (QS
Al-Hasyr:18)
Dalam Al Qur’an surat Yusuf :43-49, Allah menggambarkan
contoh usaha manusia dalam membentuk sistem proteksi untuk menghadapi
kemungkinan buruk yang mungkin terjadi di masa depan. Secara ringkas, ayat ini
bercerita tentang pertanyaan raja Mesir tentang mimpinya kepada Nabi Yusuf.
Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh
tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang
hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah. Nabi
Yusuf sebagaimana diceritakan dalam surat Yusuf, dalam hal ini menjawab supaya
raja dan rakyatnya bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan
sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang
menghabiskan apa yang disimpan untuk menghadapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit
dari apa yang disimpan. Sangat jelas dalam ayat ini kita dianjurkan untuk
berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan meproteksi kemungkinan
terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat diatas menyatakan bahwa
berasurnasi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya
upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang
dikenal dalam mekanisme asuransi.
Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan,
pertanyaan selanjutnya adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang
(asuransi konvensional) telah memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat
secara Islami. Dalam mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa,
paling tidak ada tiga hal yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya
unsur gharar (ketidak jelasan dana), unsur maisir (judi/ gambling) dan riba
(bunga). Ketiga hal ini akan dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai
perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah.
Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional
mempunyai tujuan sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan
mendasar antara keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko asuransi
konvensional berupa transfer risiko dari para peserta kepada perusahaan
asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariah menganut azas
tolong menolong dengan membagi risiko diantara peserta asuransi jiwa (risk
sharing).
Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan cara
mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi jiwa
syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi.
B.
Definisi Asuransi
Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan
perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya
(muamman ) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik
itu berbentuk imbalan, gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika
terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana
tertera dalam akad (transaksi ), sebagai imbalan uang (premi )
yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah
tersebut (muammah ) kepada perusahaan asuransi (muammin ) di saat
hidupnya. Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan
salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang
dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Beberapa
istilah asuransi yang digunakan antara lain:
- Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau
berkepentingan atas harta benda
- Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransimerupakan pihak yang
menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas
kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan
C.
Asuransi
Syariah
1. Proses Asuransi Syariah
Pada
asuransi syariah, Prosesnya adalah
Berbagi Resiko (Risk Sharing), di mana para peserta (nasabah)
bergabung dalam suatu wadah (yang dikelola secara terpisah oleh perusahaan
asuransi). Resiko keuangan dalam hal ini juga ditanggung bersama oleh para
peserta dengan cara orang tersebut membayar sejumlah besar kontribusi (premi).
Semua keuntungan/kerugian juga akan ditanggung bersama oleh para peserta, bila
ada keuntungan akan dibagikan secara merata dan bila ada kerugian akan ada
mekanisme tersendiri dengan menggunakan akad2 yang telah ditetapkan oleh
perusahaan asuransi yang mengelolanya.
2. Prinsip-prinsip
Dasar Asuransi Syari’ah.
Suatu asuransi diperbolehkan secara
syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat
Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a) Asuransi syariah harus dibangun atas
dasar taawun (kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi
bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman, ”Dan saling
tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan.”
b) Sumbangan (tabarru’) sama dengan
hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau
terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
c) Setiap anggota yang menyetor uangnya
menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi
menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah
sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
d) Tidak dibenarkan seseorang
menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan
yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah
sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
e) Apabila uang itu akan dikembangkan,
maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
3. Ciri-Ciri Asuransi
Syari’ah
Asuransi Syariah memiliki beberapa
ciri, diantaranya adalah sebagai berikut:
Akad asuransi syari’ah adalah
bersifat tabarru’/sumbangan, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik
kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan
yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti
sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih
maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
a)
Akad
asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua
belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan
untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut
didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau
pengurus yang ditunjuk bersama).
b)
Dalam
asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan
aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah.
c)
Akad
asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
d)
Asuransi
syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
D.
Asuransi
Konvensional
1. Definisi
asuransi konvensional
Asuransi
Konvensional pada dasarnya ialah Proses Mentransfer Resiko (Risk
Transfering), dalam hal ini ialah Resiko keuangan yang mungkin
terjadi apabila seseorang terkena musibah meninggal/sakit kritis/cacat tetap
total. Resiko keuangan yang seharusnya ditanggung oleh keluarga akan ditanggung
oleh perusahaan asuransi dengan cara orang tersebut membayar sejumlah besar
premi yang telah ditentukan. Semua keuntungan/kerugian akan ditanggung oleh
perusahaan asuransi yang mengelolanya.
2. Ciri-ciri
Asuransi konvensional
Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional,
diantaranya adalah:
a) Akad asuransi konvensional adalah
akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah
pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah
kewajiban tertanggung membayar premi-premi asuransi dan kewajiban penanggung
membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
b) Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah
, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil
pengganti dari apa yang telah diberikannya.
c) Akad asuransi ini adalah akad gharar
karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada
waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah
yang dia ambil.
d) Akad asuransi ini adalah akad idz’an
(penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang
menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung.
E.
Perbedaan Asuransi Syari'ah dengan Asuransi
Konvensional
1.
Akad
(perjanjian) pada asuransi syariah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan
asuransi konvensional berdasarkan jual beli.
2.
Kepemilikan
dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai
pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, dana
yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan
bebas menentukan alokasi investasinya.
3.
Investasi
dana pada asuransi syariah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada
asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan
investasinya.
4.
Tidak Ada Dana Hangus. Dalam
konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang
baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka
dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali
sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat
diambil. Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan
tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi
tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan
kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang
dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung
dengan tingkat investasi pada tahun tersebut. Pada asuransi konvensional
dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi
dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan
asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau
asuransi kerugian, jika habis msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi
asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan
asuransi.
5.
Pembayaran
klaim pada asuransi syariah diambil dari dana tabarru (dana kebajikan) seluruh
peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan
dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah.
Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening
dana perusahaan.
6.
Pada
asuransi syariah, pembagian keuntungan dibagi berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah) antara perusahaan dengan peserta asuransi, sesuai dengan proporsi
yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan
menjadi hak milik perusahaan.
7.
Asuransi
syariah mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi
pengelolaan dana investasi dan produk yang dipasarkan. Sedangkan pada asuransi
konvensional tidak ditemukan Dewan Pengawas Syariah. namun setara dengan dewan
komisaris dalam sebuah struktur oraganisasi perusahaan.
Dengan melihat perbedaan antara
asuransi syariah dengan asuransi konvensional di atas, sangat jelas bahwa
konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong. Semua peserta asuransi
merupakan sebuah keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam
menghadapi resiko (sharing of risk). Sedangkan asuransi konvensional, asuransi
merupakan transfer of risk, yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke
perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan
dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan
dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi.
0 komentar:
Posting Komentar